Selasa, 23 Februari 2016

CERPEN



KEPEMILIKAN TERAKHIR

Matahari takkan menunggu, ia bergulir tanpa mendengar derap waktu namun begitu paham dengan jadwal keberangkatannya. Seperti usia, datang tanpa dijemput, namun semerta-merta mengiringi alur kehidupan. Kala matahari mencapai batas horizon, cahayanya yang benderang kini meredup. Mencapai senja. Hingga, pada waktu tertentu, cahaya itu dimakamkan di ufuk barat. Manusia? Sama.
Senja menggemilau di angkasa. Di akhir hari ini, kesenjaan menjemput sosok pria yang menatap lesu kue bolu bertatahkan 2 lilin berbentuk angka kembar, 55. Dirinya menjemu, layu dalam ratapan kekhawatiran. Entah apa yang ia pikirkan.
“Kakek kenapa? Kok terlihat tidak suka dengan kuenya? Itu buatan Manda sama Nenek loh.” Sahut bocah kecil nan lugu. Bocah wanita dengan pipi gembul merah muda yang menyerupai bakpau stroberi, menggemaskan.
“Bukan kuenya yang membuat kakek tidak suka, tapi lilin di kue itu membuat kakek merasa sudah tak berguna.”
Bocah itu diam. Terpaku menatap wajah murung kakeknya.
Kediaman antara kakek dan cucu tersebut terpatahkan oleh suara lembut wanita tua, “memangnya salah jika kakek semakin tua?”
Beberapa jenak, kakek memilih diam. Lalu ia membuat simpul simetris dalam tarikan bibirnya. Menyampaikan senyum terbaik pada sosok wanita tua. “Tidak! Tidak ada yang salah. Jika saya menyalahkan usia, sama dengan saya menyalahkan Tuhan.”
“Nah, itu baru semangat muda.” Balas nenek. Tangannya terayun lamat ke arah kue bolu milik kakek. Ia membalik lilin angka 5 di depan sehingga dari angka semula 55 menjadi seperti angka 25.
Kakek tersenyum lagi. Lebar sekali. Memperlihatkan rentetan giginya yang hilang beberapa. Lalu terpekiklah tawanya yang digemari nenek.

***

Waktu. Rangkaian peristiwa yang tiada didengar langkahnya. Bayangkan rangkaian itu sebuah rangkaian manik-manik yang tak bersambung ujungnya, dan setiap manik mewakili kisahnya sendiri. Torehan kisah akan terus berlanjut hingga ujung tali tempat merangkai manik-manik habis.
Kilasan-kilasan balik menyeruak dari rentetan manik-manik. Bagai roll film masa lampau. Aroma 5 tahun lalu itu pun terngiang kembali. Wanita tua masih mengingatnya. Saat-saat ia tertawa bersama sosok kesayangannya karena membalikkan angka 5. Senyum masih bisa ia ukir, melawan goresan keriput di bibirnya. Matanya menerawang ke arah wajah senja di ujung cakrawala. Lalu tetes air mata membelah pipi tirusnya. Tak lama, lintasan air mata itu mengering kembali tersapu angin.
“Ingatkah kamu padaku?” Rintihnya dalam hati, mengiringi degupan kerinduan yang tidak ada siapapun yang mampu meredakanannya, selain dia yang tersayang.
Bagi dirinya, cinta dan harapan adalah kepemilikan terakhir, yang telah dibawa oleh lelaki yang kini ditelan penyakit renta. Sang kakek telah melupakannya. Melupakan torehan kisah dalam manik-manik kehidupan. Melupakan dunia yang telah membuatnya bahagia, termasuk orang-orang yang dicintainya.
Di ranjang pesakitan, kakek hanya tertidur. Meski tak pulas. Alzheimer membuatnya mati cinta. Tak semua teman dan anggota keluarga mampu diingatnya. Yang paling tersakiti, tentulah pasangannya.
Ada siang, ada malam. Ada cinta, ada benci. Ada bahagia, ada duka. Dan kini duka menggelora dalam sesaknya dada yang menekan kerinduan untuk bahagia.
“Nenek, pulanglah. Biar Manda dan Bapak yang menjaga kakek.” Si kecil Manda yang kini telah masuk masa remaja awal membujuk neneknya agar tak keras kepala mengorbankan badannya yang renta demi menjaga kakek.
“Bagaimana bisa saya pulang sedangkan orang tempat saya kembali berada di rumah sakit ini!” Tukas nenek.
“Tapi Mah, di rumah akan lebih nyaman daripada di sini.” Bujuk anaknya, bapak dari Manda.
“Kamu tak mengerti. Sumber kenyamanan saya, ada pada bapakmu. ”
“Mah, tolong pikirkan juga kesehatan Mama. Pulanglah.”
“Tidak!”
“Ya sudah! Jika mama keras kepala begini, biarlah kami yang pulang.”
Nenek diam. Dirinya bertutup kata. Masih dalam harapan. Ya, hanya harapan, yang membuatnya tetap percaya atas keutuhan dirinya dalam ingatan kakek.
 ‘Saya hanya memperjuangkan kepemilikan saya yang terakhir, yaitu cinta dan harapan. Jika hilang kepemilikan terakhir itu, masih adakah harga dalam hidup ini?’ Nenek membatin. Melanjutkan kisah senjanya dengan perjuangan atas nama cinta. Cinta sejati
***

CERPENKU...



KOTA BERDARAH

Central park. Merupakan hutan kota ter-ramai di New York, yang jauh dari kesepian, jauh dari polusi suara. Kini, mati mendadak. Tiada penghuni. Hanya segelintir pedestrian yang cukup nyali untuk melewatinya. Dan tentunya para penjaga hutan kota, serta beberapa turis yang tak mau ambil pusing dengan seliweran kabar kriminal di Central park.
Agustus 1996. New York, gempar. Tiga bulan penuh, media massa, TV, radio, majalah, koran dibombardir berita pembunuhan berantai dengan korban yang selalu berwujud mengenaskan. Lebih mengenaskan lagi, karena korban berdatangan dari seluruh penjuru kota dan mayatnya rutin ditemukan di Central park.
‘Psikopat berulah di Central Park’. Begitu bunyi koran pagi ini.
Kejadian berlangsung begitu miris, berulang-ulang. Laki-laki, wanita, pelajar, wiraswasta, pegawai bank, akuntan, guru, tak pandang kenal, semuanya tewas mengenaskan. Tragis. Tengkorak kepala hancur, leher dipotong, mata keluar, dibenamkan dalam saluran pembuangan, atau bagaimanapun itu. Lebih parah lagi, puluhan batang manusia tak lengkap ditemukan berdarah-darah di setiap sudut Central park.
Setiap sudut New York seolah menyimpan misteri dan ketegangan. Seakan-akan kota dipenuhi orang-orang misterius yang menyimpan senjata dibalik bajunya, yang selalu siap menjadi tangan kanan malaikat pencabut nyawa. Selama Agustus, langit New York berubah menjadi kelabu. Gelap. Kelam. Meskipun langit tidak mendung.
Selang tiga tahun. Central park kembali ramai. Memori misterius seolah terlupa. Pengunjung kembali merasakan tenang, begitupun dengan warga New York. Pembunuhan, benar-benar padam. Hingga sebuah fakta tragis kembali mencuat di layar televisi.
Berita pembunuhan.
Polisi kembali menemukan mayat tak beridentitas di lokasi dekat Central park. Seperti tragedi yang terlupa, New York kembali ke masa 3 tahun lalu. Mati.
"Psikopat kambuhan, kembali menenggelamkan keceriaan New York." Suara seorang lelaki mendesis saat membaca cuplikan artikel di Koran pagi. Casey, begitu ia disapa.
"Hati-hati, pembunuhnya beraksi lagi." Kata Casey pada adik angkatnya, Nathan.
Nathan mengencangkan sepatunya yang mengkilat, siap berangkat kerja, patroli taman. Ya, ia adalah penjaga Central park. Tiga tahun lalu juga, setiap paginya Casey selalu memperingatkan kata-kata itu, tapi Nathan selalu membalasnya enteng, "Jikapun aku mati, kau korban selanjutnya!"
"Aku pergi." Kata Nathan. Berikutnya, ia keluar rumah dengan leluasa hati.
"Ingat kata-kataku, Nathan Smith!" Teriak Casey dari dalam rumah.
"Dasar penganggur." Gerutu Nathan tak menggubris perkataan kakaknya.
***
Nathan berkeliling di taman kota. Kejanggalan mulai ia rasakan. Ada yang menguntitnya sejak tadi. Tiap kali ia memperhatikan pepohonan rimbun, sebagaimana tugasnya sebagai pengawas, ia dengan jeli mengamati benda bergerak di sekelilingnya. ‘Tidak ada apapun, hanya perasaanku saja yang terbawa nuansa tegang di sini.’ Ia membatin.
Saat makan siang tiba, ia mendapat telepon darurat dari kepolisian. Seluruh aparat keamanan Central park dikumpulkan. Di kantor polisi, Nathan terkejut bukan main. Sungguh ia tak mau percaya. Sebongkah daging manusia ditemukan di saluran pembuangan dekat Central park, lagi. Yang membuat tubuhnya ambruk seketika, berdasarkan KTP korban, mayat itu adalah Casey Mift, kakak angkat Nathan.
"Yang saya tahu kakak saya tak punya pekerjaan, dan ia jarang meninggalkan rumah terkecuali untuk menghibur diri bersama teman-temannya." Kata Nathan saat diinterogasi polisi. Secara tidak terang-terangan polisi mencurigai Nathan, terlebih semua korban ditemukan di sekitar Central park yang dijaga Nathan dan beberapa partnernya.
"Saya tahu bapak mencurigai saya, tapi apakah saya punya tampang sebagai pembunuh berantai?" Sindir Nathan pada Komisaris Polisi New York, Marcus Chovy.
"Kau pernah bertemu teman-temannya?" Tanya Marcus. Interogasi berlanjut.
"Ya." Jawab Nathan pasti. "Mereka pernah datang ke rumah kami." Lanjutnya.
Marcus mengambil beberapa eksemplar dokumen bergambar wajah-wajah kriminal, dan menunjukkannya pada Nathan.
"Perhatikan wajah-wajah mereka. Apakah ada diantara mereka yang kau kenal? Mungkin sebagai teman kakakmu, atau juga… temanmu."
Nathan serius memandangi wajah-wajah dalam lembaran kertas itu. Matanya menajam dan bibirnya merapat. Seseorang tak asing terpampang mukanya di sana.
"Ini…" Tunjuknya gemetaran pada satu sosok dalam dokumen.
"Siapa?" Tanya komisaris penuh selidik.
"Casey, 3 tahun lalu."
"Maksudmu?"
"Casey pernah mengalami luka bakar yang parah sehingga ia harus dioperasi plastik. Total. Dari wajah dan seluruh tubuhnya." Nathan memberi tahu yang ia tahu. Ia hampir tak percaya gambar kakaknya tertera di sana. Tapi berkedip sejuta kalipun tetap sama, itu Casey, kakak angkatnya.
"Yang kudengar Casey kakak angkatmu, bukan kakak kandungmu. Benar?" Marcus kembali mengambil keterangan atas kasus yang sedang ia tangani.
"Ya." Jawab Nathan datar.
"Sejak kapan kalian jadi kakak beradik? Dan kapan dia operasi plastik?"
"Sejak 4 tahun lalu. Dia pendatang dari Asia. Kami bertemu di Central park di malam hari waktu aku mau pulang dari tugasku. Dia datang padaku dan bilang kalau dia tersesat dan tak punya teman di New York. Karena iba, aku ijinkan dia tinggal di rumahku, dan aku menganggapnya seperti saudara sendiri. Waktu itu dia mencari pekerjaan dan berhasil mendapatkannya di toko roti, Fairy Bakery. Namun, sebulan dia bekerja disana, toko roti itu kebakaran dan dia terjebak di tengah api. Jadilah dia luka parah dan menjalani operasi plastik." Jelas Nathan panjang lebar. Marcus yang mendengar itu mengerutkan alisnya, menautkannya lebih rapat ke mata. Ekspresi berpikir dan mengolah kejadian.
"Aku butuh keterangan lebih banyak. Akan kulakukan investigasi di rumahmu. Besok, pukul 8. Jadi besok kau dibebastugaskan, mohon kerjasamanya."
"Baik."
Nathan pulang ke rumahnya. Sekarang, Central park yang ia jaga berpindah wenang kepada petugas keamanan yang derajatnya lebih dari seorang penjaga taman. Kepolisian.
"Apapun yang kukatakan soal keburukanmu, aku tetap menyayangimu, Casey." Ucap Nathan lirih mengakhiri kesadarannya. Kemudian sesal menyergapnya tanpa ampun. Nathan menyesal telah berucap bahwa Casey adalah korban berikutnya, ia tak menyana itu benar-benar terjadi. Perkataan memang doa, kan?
***
Pagi yang cerah, polisi mulai berulah. Rumah Nathan di obrak-abrik bagai serakan tumpukan jerami demi sebuah jarum. Ya, jarum itu adalah keterangan tentang diri Casey. Apapun itu, dan bagaimanapun caranya, jarum itu benda berharga.
"Ini kamarku! Anda sekalian tidak perlu menggeledanya juga. Anda tidak akan menemukan bukti apapun di sini." Cukuplah mengikis kesabaran pemilik rumah aksi para polisi ini. Nathan memang mengiyakan diri untuk bekerja sama dengan kepolisian, termasuk mengijinkan rumahnya digeledah untuk penyidikan. Tapi siapa juga yang mau privasinya di acak-acak?
"Segala penyidikan harus masif, tak boleh keropos. Justru yang kau hendaki untuk dilewatkan penyidikan, mungkin sebuah celah jawaban." Tukas Kepala polisi Aiden, pemimpin atas penyidikan ini.
"Ahh, baiklah, terserah katamu!" Pasrah, Nathan keluar rumah dan memilih duduk santai di kursi teras sambil dipandangi penuh curiga oleh para tetangganya.
Kasus ini seakan-akan menjatuhkan kehormatan. Ya, warga sekitar yang terbiasa hormat pada seorang penjaga hutan kota terindah, kini asyik membincang ini dan itu tentang Nathan. Merendahkan, menuduh, membual, dan menyimpulkan keadaan padahal mereka hanya orang awam hukum.
"Sial!" Kata Nathan nyaris mendesis.
 Nathan mengeluh, menggerutu, mengoceh tak jelas. Berkali-kali. Sudah lima jam berlalu dan Nathan hampir tertidur. Hingga deheman keras mengembalikan Nathan untuk terjaga. Kepala Polisi Aiden selesai dengan penyidikannya.
"Sudah selesai investigasinya?" Ujar Nathan dalam semu kantuknya.
"Ya."
"Lalu?"
"Apanya?" Aiden bertanya balik dengan pertanyaan bodoh.
"Kau ini berlagak bodoh! Bagaimana hasilnya? Haruskah saya tanyakan lebih detail lagi?" Nathan tersulut dengan lelahnya menunggu. Untunglah Aiden adalah orang yang tak mudah terbakar emosi.
"Hei, santai saja. Hasilnya bagus."
Mata Nathan membinar, "Benarkah? Apa yang kau dapat?"
"Mari ikut kami ke kantor polisi!"
"Hah? Jelaskan saja sekarang, Pak Kepala Polisi Aiden Broock!" Kata Nathan lantang cukup tak sopan. Membuat Aiden sebaya dengannya mengerutkan dahinya. Sedangkan Nathan sendiri puas dengan pecahan katanya yang berarti baginya membalas kesal pada Aiden yang telah menggeledah rumahnya tanpa dimaui campur tangannya.
Seringai tipis muncul di sudut kanan bibir Nathan. "Jaga bicaramu, bung! Kau bisa dibui karena menghina aparat hukum." Balas Aiden.
"Oh, benarkah?" Nathan semakin berlincah lidah, dan tatapan Aiden semakin sengit menikam manik mata Nathan.
"Huh! Jika itu bukan kau, Nathan Smith! Kau sudah ku tuntut karena melecehkan seorang Kepala Polisi!" Ketus Aiden. Perdebatan aneh itu pun dipandang geli oleh aparat kepolisian lainnya, partner dari Aiden Broock.
"Ouuh… Aku takut! Seperti halnya waktu SMA, aku takut saat kau melaporkan keningmu yang memar pada ayahmu yang seorang polisi karena ku lempar bola basket tepat di dahimu.” Lagi, Nathan mendapat tatapan sengit dari Aiden. Nathan menghindari tatapan Aiden yang bisa menelanjanginya seperti seorang pecundang masa lalu.
"Ya, ya, maafkan aku soal itu. Hentikan basa-basimu, ikut kami sekarang ke kantor polisi. Data hasil investigasi tidak bisa dibincangkan di sembarang tempat, juga dengan sembarang orang." Kedua kawan lama itu seakan dipertemukan kembali dalam keadaan saling membutuhkan. Juga masih dalam salinan memori perseteruan sepele. Sesuatu yang biasa mereka lakukan sewaktu di bangku SMA.
***
"Kami menemukan banyak nomor telepon, nomor rumah, sandi, nomor kamar hotel, juga nomor undian, di atas meja kamar kakakmu, Casey. Berita baiknya, tim investigasi bertindak cepat sehingga semua temuan itu sudah diselidik. Satu-satu." Jelas Kepala Polisi Aiden di ruangannya.
"Selanjutnya?" tanya Nathan dengan respon agak tak terkejut.
"Selanjutnya…” Aiden menggantung kalimatnya sejenak. Mengambil nafas panjang.
“Kau… Nathan Smift. Kau ditahan!”
GLEK!
Air liur Nathan yang memadat, tertelan sempurna. Menimbulkan rasa perih di kerongkongannya.
Aiden melanjutkan, “Kau ditahan karena melindungi para mafia psikopat, meski tanpa sengaja.”
Nathan masih belum bisa berkata-kata.
“John Bevaekr, Leonardo Keehls, Jonathan Lee, dan terakhir Casey Mift. Mereka para tahanan psikopat yang kabur dari penjara di Texas. Mengenalkan diri dengan identitas palsu, lalu memanfaatkanmu sebagai tempat perlindungan sekaligus persembunyian mereka. Apa kau baru menyadarinya?” Tanpa menunggu jawaban Nathan, Aiden kembali berkata. “Parahnya… Mereka gila! Mereka terobsesi untuk membunuh 50 orang tak dikenal dengan cara yang ‘baru’ dan setelah tercapai targetnya, mereka akan bunuh diri.”
Aiden mengibas tangannya di depan wajah Nathan yang tak bermimik, bahkan tak berkedip selang 5 menit berlalu. Tidak ada respon. Aiden meneriakkan namanya, Nathan tak menyahut. Terakhir, Aiden mengguncang-guncang bahu Nathan lalu berusaha mencari titik sadarnya. Dan…
“Astaga! Dia mati!”
***END***