KOTA BERDARAH
Central park. Merupakan hutan kota ter-ramai di New York,
yang jauh dari kesepian, jauh dari polusi suara. Kini, mati mendadak. Tiada
penghuni. Hanya segelintir pedestrian yang cukup nyali untuk melewatinya. Dan
tentunya para penjaga hutan kota, serta beberapa turis yang tak mau ambil
pusing dengan seliweran kabar kriminal di Central
park.
Agustus 1996. New York, gempar. Tiga bulan penuh, media massa, TV,
radio, majalah, koran dibombardir berita pembunuhan berantai dengan korban yang
selalu berwujud mengenaskan. Lebih mengenaskan lagi, karena korban berdatangan
dari seluruh penjuru kota dan mayatnya rutin ditemukan di Central park.
‘Psikopat berulah di Central Park’. Begitu bunyi koran pagi ini.
Kejadian berlangsung begitu miris, berulang-ulang. Laki-laki, wanita,
pelajar, wiraswasta, pegawai bank, akuntan, guru, tak pandang kenal, semuanya
tewas mengenaskan. Tragis. Tengkorak kepala hancur, leher dipotong, mata
keluar, dibenamkan dalam saluran pembuangan, atau bagaimanapun itu. Lebih parah
lagi, puluhan batang manusia tak lengkap ditemukan berdarah-darah di setiap
sudut Central park.
Setiap sudut New York seolah menyimpan misteri
dan ketegangan. Seakan-akan kota dipenuhi orang-orang misterius yang menyimpan
senjata dibalik bajunya, yang selalu siap menjadi tangan kanan malaikat
pencabut nyawa. Selama Agustus, langit New York berubah menjadi kelabu. Gelap.
Kelam. Meskipun langit tidak mendung.
Selang tiga tahun. Central park kembali ramai. Memori misterius
seolah terlupa. Pengunjung kembali merasakan tenang, begitupun dengan warga New
York. Pembunuhan, benar-benar padam. Hingga sebuah fakta tragis kembali mencuat
di layar televisi.
Berita pembunuhan.
Polisi kembali menemukan mayat tak beridentitas di lokasi dekat Central
park. Seperti tragedi yang terlupa, New York kembali ke masa 3 tahun lalu.
Mati.
"Psikopat kambuhan, kembali menenggelamkan keceriaan New
York." Suara seorang lelaki mendesis saat membaca cuplikan artikel di
Koran pagi. Casey, begitu ia disapa.
"Hati-hati, pembunuhnya beraksi lagi." Kata Casey pada adik
angkatnya, Nathan.
Nathan mengencangkan sepatunya yang mengkilat, siap berangkat kerja,
patroli taman. Ya, ia adalah penjaga Central
park. Tiga tahun lalu juga, setiap paginya Casey selalu memperingatkan
kata-kata itu, tapi Nathan selalu membalasnya enteng, "Jikapun aku mati,
kau korban selanjutnya!"
"Aku pergi." Kata Nathan. Berikutnya, ia keluar rumah dengan
leluasa hati.
"Ingat kata-kataku, Nathan Smith!" Teriak Casey dari dalam
rumah.
"Dasar penganggur." Gerutu Nathan tak menggubris perkataan
kakaknya.
***
Nathan berkeliling di taman kota. Kejanggalan mulai ia rasakan. Ada yang
menguntitnya sejak tadi. Tiap kali ia memperhatikan pepohonan rimbun,
sebagaimana tugasnya sebagai pengawas, ia dengan jeli mengamati benda bergerak
di sekelilingnya. ‘Tidak ada apapun, hanya perasaanku saja yang terbawa nuansa
tegang di sini.’ Ia membatin.
Saat makan siang tiba, ia mendapat telepon darurat dari kepolisian.
Seluruh aparat keamanan Central park
dikumpulkan. Di kantor polisi, Nathan terkejut bukan main. Sungguh ia tak mau
percaya. Sebongkah daging manusia ditemukan di saluran pembuangan dekat Central
park, lagi. Yang membuat tubuhnya ambruk seketika, berdasarkan KTP korban,
mayat itu adalah Casey Mift, kakak angkat Nathan.
"Yang saya tahu kakak saya tak punya pekerjaan, dan ia jarang
meninggalkan rumah terkecuali untuk menghibur diri bersama teman-temannya."
Kata Nathan saat diinterogasi polisi. Secara tidak terang-terangan polisi
mencurigai Nathan, terlebih semua korban ditemukan di sekitar Central park yang dijaga Nathan dan
beberapa partnernya.
"Saya tahu bapak mencurigai saya, tapi apakah saya punya tampang
sebagai pembunuh berantai?" Sindir Nathan pada Komisaris Polisi New York, Marcus
Chovy.
"Kau pernah bertemu teman-temannya?" Tanya Marcus. Interogasi
berlanjut.
"Ya." Jawab Nathan pasti. "Mereka pernah datang ke rumah
kami." Lanjutnya.
Marcus mengambil beberapa eksemplar dokumen bergambar wajah-wajah
kriminal, dan menunjukkannya pada Nathan.
"Perhatikan wajah-wajah mereka. Apakah ada diantara mereka yang kau
kenal? Mungkin sebagai teman kakakmu, atau juga… temanmu."
Nathan serius memandangi wajah-wajah dalam lembaran kertas itu. Matanya
menajam dan bibirnya merapat. Seseorang tak asing terpampang mukanya di sana.
"Ini…" Tunjuknya gemetaran pada satu sosok dalam dokumen.
"Siapa?" Tanya komisaris penuh selidik.
"Casey, 3 tahun lalu."
"Maksudmu?"
"Casey pernah mengalami luka bakar yang parah sehingga ia harus
dioperasi plastik. Total. Dari wajah dan seluruh tubuhnya." Nathan memberi
tahu yang ia tahu. Ia hampir tak percaya gambar kakaknya tertera di sana. Tapi
berkedip sejuta kalipun tetap sama, itu Casey, kakak angkatnya.
"Yang kudengar Casey kakak angkatmu, bukan kakak kandungmu.
Benar?" Marcus kembali mengambil keterangan atas kasus yang sedang ia
tangani.
"Ya." Jawab Nathan datar.
"Sejak kapan kalian jadi kakak beradik? Dan kapan dia operasi
plastik?"
"Sejak 4 tahun lalu. Dia pendatang dari Asia. Kami bertemu di Central park di malam hari waktu aku mau
pulang dari tugasku. Dia datang padaku dan bilang kalau dia tersesat dan tak
punya teman di New York. Karena iba, aku ijinkan dia tinggal di rumahku, dan
aku menganggapnya seperti saudara sendiri. Waktu itu dia mencari pekerjaan dan
berhasil mendapatkannya di toko roti, Fairy Bakery. Namun, sebulan dia bekerja
disana, toko roti itu kebakaran dan dia terjebak di tengah api. Jadilah dia
luka parah dan menjalani operasi plastik." Jelas Nathan panjang lebar.
Marcus yang mendengar itu mengerutkan alisnya, menautkannya lebih rapat ke
mata. Ekspresi berpikir dan mengolah kejadian.
"Aku butuh keterangan lebih banyak. Akan kulakukan investigasi di
rumahmu. Besok, pukul 8. Jadi besok kau dibebastugaskan, mohon
kerjasamanya."
"Baik."
Nathan pulang ke rumahnya. Sekarang, Central
park yang ia jaga berpindah wenang kepada petugas keamanan yang derajatnya lebih
dari seorang penjaga taman. Kepolisian.
"Apapun yang kukatakan soal keburukanmu, aku tetap menyayangimu,
Casey." Ucap Nathan lirih mengakhiri kesadarannya. Kemudian sesal
menyergapnya tanpa ampun. Nathan menyesal telah berucap bahwa Casey adalah
korban berikutnya, ia tak menyana itu benar-benar terjadi. Perkataan memang
doa, kan?
***
Pagi yang cerah, polisi mulai berulah. Rumah Nathan di obrak-abrik bagai
serakan tumpukan jerami demi sebuah jarum. Ya, jarum itu adalah keterangan
tentang diri Casey. Apapun itu, dan bagaimanapun caranya, jarum itu benda
berharga.
"Ini kamarku! Anda sekalian tidak perlu menggeledanya juga. Anda
tidak akan menemukan bukti apapun di sini." Cukuplah mengikis kesabaran
pemilik rumah aksi para polisi ini. Nathan memang mengiyakan diri untuk bekerja
sama dengan kepolisian, termasuk mengijinkan rumahnya digeledah untuk
penyidikan. Tapi siapa juga yang mau privasinya di acak-acak?
"Segala penyidikan harus masif, tak boleh keropos. Justru yang kau
hendaki untuk dilewatkan penyidikan, mungkin sebuah celah jawaban." Tukas Kepala
polisi Aiden, pemimpin atas penyidikan ini.
"Ahh, baiklah, terserah katamu!" Pasrah, Nathan keluar rumah
dan memilih duduk santai di kursi teras sambil dipandangi penuh curiga oleh
para tetangganya.
Kasus ini seakan-akan menjatuhkan kehormatan. Ya, warga sekitar yang
terbiasa hormat pada seorang penjaga hutan kota terindah, kini asyik membincang
ini dan itu tentang Nathan. Merendahkan, menuduh, membual, dan menyimpulkan
keadaan padahal mereka hanya orang awam hukum.
"Sial!" Kata Nathan nyaris mendesis.
Nathan mengeluh, menggerutu,
mengoceh tak jelas. Berkali-kali. Sudah lima jam berlalu dan Nathan hampir
tertidur. Hingga deheman keras mengembalikan Nathan untuk terjaga. Kepala
Polisi Aiden selesai dengan penyidikannya.
"Sudah selesai investigasinya?" Ujar Nathan dalam semu
kantuknya.
"Ya."
"Lalu?"
"Apanya?" Aiden bertanya balik dengan pertanyaan bodoh.
"Kau ini berlagak bodoh! Bagaimana hasilnya? Haruskah saya tanyakan
lebih detail lagi?" Nathan tersulut dengan lelahnya menunggu. Untunglah
Aiden adalah orang yang tak mudah terbakar emosi.
"Hei, santai saja. Hasilnya bagus."
Mata Nathan membinar, "Benarkah? Apa yang kau dapat?"
"Mari ikut kami ke kantor polisi!"
"Hah? Jelaskan saja sekarang, Pak Kepala Polisi Aiden Broock!"
Kata Nathan lantang cukup tak sopan. Membuat Aiden sebaya dengannya mengerutkan
dahinya. Sedangkan Nathan sendiri puas dengan pecahan katanya yang berarti
baginya membalas kesal pada Aiden yang telah menggeledah rumahnya tanpa dimaui
campur tangannya.
Seringai tipis muncul di sudut kanan bibir Nathan. "Jaga bicaramu,
bung! Kau bisa dibui karena menghina aparat hukum." Balas Aiden.
"Oh, benarkah?" Nathan semakin berlincah lidah, dan tatapan
Aiden semakin sengit menikam manik mata Nathan.
"Huh! Jika itu bukan kau, Nathan Smith! Kau sudah ku tuntut karena
melecehkan seorang Kepala Polisi!" Ketus Aiden. Perdebatan aneh itu pun
dipandang geli oleh aparat kepolisian lainnya, partner dari Aiden Broock.
"Ouuh… Aku takut! Seperti halnya waktu SMA, aku takut saat kau
melaporkan keningmu yang memar pada ayahmu yang seorang polisi karena ku lempar
bola basket tepat di dahimu.” Lagi, Nathan mendapat tatapan sengit dari Aiden.
Nathan menghindari tatapan Aiden yang bisa menelanjanginya seperti seorang
pecundang masa lalu.
"Ya, ya, maafkan aku soal itu. Hentikan basa-basimu, ikut kami
sekarang ke kantor polisi. Data hasil investigasi tidak bisa dibincangkan di
sembarang tempat, juga dengan sembarang orang." Kedua kawan lama itu
seakan dipertemukan kembali dalam keadaan saling membutuhkan. Juga masih dalam
salinan memori perseteruan sepele. Sesuatu yang biasa mereka lakukan sewaktu di
bangku SMA.
***
"Kami menemukan banyak nomor telepon, nomor rumah, sandi, nomor
kamar hotel, juga nomor undian, di atas meja kamar kakakmu, Casey. Berita
baiknya, tim investigasi bertindak cepat sehingga semua temuan itu sudah
diselidik. Satu-satu." Jelas Kepala Polisi Aiden di ruangannya.
"Selanjutnya?" tanya Nathan dengan respon agak tak terkejut.
"Selanjutnya…” Aiden menggantung kalimatnya sejenak. Mengambil
nafas panjang.
“Kau… Nathan Smift. Kau ditahan!”
GLEK!
Air liur Nathan yang memadat, tertelan sempurna. Menimbulkan rasa perih
di kerongkongannya.
Aiden melanjutkan, “Kau ditahan karena melindungi para mafia psikopat,
meski tanpa sengaja.”
Nathan masih belum bisa berkata-kata.
“John Bevaekr, Leonardo Keehls, Jonathan Lee, dan terakhir Casey Mift.
Mereka para tahanan psikopat yang kabur dari penjara di Texas. Mengenalkan diri
dengan identitas palsu, lalu memanfaatkanmu sebagai tempat perlindungan
sekaligus persembunyian mereka. Apa kau baru menyadarinya?” Tanpa menunggu
jawaban Nathan, Aiden kembali berkata. “Parahnya… Mereka gila! Mereka terobsesi
untuk membunuh 50 orang tak dikenal dengan cara yang ‘baru’ dan setelah
tercapai targetnya, mereka akan bunuh diri.”
Aiden mengibas tangannya di depan wajah Nathan yang tak bermimik, bahkan
tak berkedip selang 5 menit berlalu. Tidak ada respon. Aiden meneriakkan
namanya, Nathan tak menyahut. Terakhir, Aiden mengguncang-guncang bahu Nathan lalu
berusaha mencari titik sadarnya. Dan…
“Astaga! Dia mati!”
***END***