KEPEMILIKAN TERAKHIR
Matahari takkan menunggu, ia
bergulir tanpa mendengar derap waktu namun begitu paham dengan jadwal
keberangkatannya. Seperti usia, datang tanpa dijemput, namun semerta-merta
mengiringi alur kehidupan. Kala matahari mencapai batas horizon, cahayanya yang
benderang kini meredup. Mencapai senja. Hingga, pada waktu tertentu, cahaya itu
dimakamkan di ufuk barat. Manusia? Sama.
Senja menggemilau di angkasa. Di
akhir hari ini, kesenjaan menjemput sosok pria yang menatap lesu kue bolu bertatahkan
2 lilin berbentuk angka kembar, 55. Dirinya menjemu, layu dalam ratapan
kekhawatiran. Entah apa yang ia pikirkan.
“Kakek kenapa? Kok terlihat tidak
suka dengan kuenya? Itu buatan Manda sama Nenek loh.” Sahut bocah kecil nan
lugu. Bocah wanita dengan pipi gembul merah muda yang menyerupai bakpau stroberi,
menggemaskan.
“Bukan kuenya yang membuat kakek
tidak suka, tapi lilin di kue itu membuat kakek merasa sudah tak berguna.”
Bocah itu diam. Terpaku menatap
wajah murung kakeknya.
Kediaman antara kakek dan cucu
tersebut terpatahkan oleh suara lembut wanita tua, “memangnya salah jika kakek
semakin tua?”
Beberapa jenak, kakek memilih
diam. Lalu ia membuat simpul simetris dalam tarikan bibirnya. Menyampaikan
senyum terbaik pada sosok wanita tua. “Tidak! Tidak ada yang salah. Jika saya
menyalahkan usia, sama dengan saya menyalahkan Tuhan.”
“Nah, itu baru semangat muda.” Balas
nenek. Tangannya terayun lamat ke arah kue bolu milik kakek. Ia membalik lilin
angka 5 di depan sehingga dari angka semula 55 menjadi seperti angka 25.
Kakek tersenyum lagi. Lebar
sekali. Memperlihatkan rentetan giginya yang hilang beberapa. Lalu terpekiklah
tawanya yang digemari nenek.
***
Waktu. Rangkaian peristiwa yang
tiada didengar langkahnya. Bayangkan rangkaian itu sebuah rangkaian manik-manik
yang tak bersambung ujungnya, dan setiap manik mewakili kisahnya sendiri.
Torehan kisah akan terus berlanjut hingga ujung tali tempat merangkai
manik-manik habis.
Kilasan-kilasan balik menyeruak
dari rentetan manik-manik. Bagai roll film masa lampau. Aroma 5 tahun lalu itu pun
terngiang kembali. Wanita tua masih mengingatnya. Saat-saat ia tertawa bersama
sosok kesayangannya karena membalikkan angka 5. Senyum masih bisa ia ukir,
melawan goresan keriput di bibirnya. Matanya menerawang ke arah wajah senja di
ujung cakrawala. Lalu tetes air mata membelah pipi tirusnya. Tak lama, lintasan
air mata itu mengering kembali tersapu angin.
“Ingatkah kamu padaku?” Rintihnya
dalam hati, mengiringi degupan kerinduan yang tidak ada siapapun yang mampu meredakanannya,
selain dia yang tersayang.
Bagi dirinya, cinta dan harapan adalah
kepemilikan terakhir, yang telah dibawa oleh lelaki yang kini ditelan penyakit
renta. Sang kakek telah melupakannya. Melupakan torehan kisah dalam manik-manik
kehidupan. Melupakan dunia yang telah membuatnya bahagia, termasuk orang-orang
yang dicintainya.
Di ranjang pesakitan, kakek hanya
tertidur. Meski tak pulas. Alzheimer membuatnya mati cinta. Tak semua teman dan
anggota keluarga mampu diingatnya. Yang paling tersakiti, tentulah pasangannya.
Ada siang, ada malam. Ada cinta,
ada benci. Ada bahagia, ada duka. Dan kini duka menggelora dalam sesaknya dada
yang menekan kerinduan untuk bahagia.
“Nenek, pulanglah. Biar Manda dan
Bapak yang menjaga kakek.” Si kecil Manda yang kini telah masuk masa remaja
awal membujuk neneknya agar tak keras kepala mengorbankan badannya yang renta
demi menjaga kakek.
“Bagaimana bisa saya pulang
sedangkan orang tempat saya kembali berada di rumah sakit ini!” Tukas nenek.
“Tapi Mah, di rumah akan lebih
nyaman daripada di sini.” Bujuk anaknya, bapak dari Manda.
“Kamu tak mengerti. Sumber
kenyamanan saya, ada pada bapakmu. ”
“Mah, tolong pikirkan juga
kesehatan Mama. Pulanglah.”
“Tidak!”
“Ya sudah! Jika mama keras kepala
begini, biarlah kami yang pulang.”
Nenek diam. Dirinya bertutup
kata. Masih dalam harapan. Ya, hanya harapan, yang membuatnya tetap percaya
atas keutuhan dirinya dalam ingatan kakek.
‘Saya hanya
memperjuangkan kepemilikan saya yang terakhir, yaitu cinta dan harapan. Jika
hilang kepemilikan terakhir itu, masih adakah harga dalam hidup ini?’ Nenek
membatin. Melanjutkan kisah senjanya dengan perjuangan atas nama cinta. Cinta
sejati
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar