Mendengar kata
cinta, mungkin sebagian remaja mengartikannya sebagai rasa yang berimbas ingin
saling memiliki antar insan beda jenis. Tak perlu begitu memikirkan cinta yang
demikian artinya. Setiap menusia memikili perpustakaan cintanya masing-masing
sebagai bekal hidup dari Allah terhadap setiap hambanya. Di hamparan bumi yang
luas ini, cinta tersebar dimana-mana. Ajaran cinta Rasulullah untuk umatnya
membuat umat muslim adalah kesatuan cinta yang besar namun tidak terkoordinasi.
Cinta sesama muslim adalah perpustakaan cinta terbesar bagi pemeluk agama
Islam. Andaikan umat muslim mengerti akan kuatnya kekuatan cinta dalam
agamanya, dunia yang mayoritas Islam ini mungkin akan lebih damai.
Perpustakaan
cinta paling berharga bagi manusia adalah keluarga. Di sanalah seorang individu
dapat menuangkan segala perasaan cinta. Dengan cinta dari keluarga, manusia
dapat hidup bahagian hingga saatnya ia memiliki keluarga baru. Berawal dari
keluarga, seornag individu dididik dan berkembang tubuh serta pikirannya.
Keluarga yang baik yaitu yang mengerti akan pendidikan, dan bagaimana
mengaplikasikannya kepada setiap anggota keluarga dengan perlakuan berbeda pada
tiap usia. Keluarga merupakan sebuah benteng untuk menahan segala sikap berbuat
tercela. Namun, banyak keluarga yang tak mengerti bahwa sikap dan sifat yang ia
tampakkan kepada anggota keluarga lainnya terutama anak, dapat berakibat
menurunnya kejeniusan anak tersebut. Seorang bayi atau balita merupakan calon
para jenius. Milyaran saraf siap diisi dengan berbagai memori yang tak
terhingga batasnya. Seorang bayi yang tumbuh dari keluarga yang pandai biasanya
akan tumbuh sebagai anak yang lebih pandai daripada anak yang tumbuh dari
keluarga tak berpendidikan. Hal ini karena memori yang diterima oleh anak
sewaktu bayi adalah berupa perkataan-perkataan ilmu dan sedikit ucapan yang
sia-sia. Segala suara yang didengar oleh seorang bayi terutama ketika ia tidur,
akan diingatnya dan akan mulai diaplikasikannya ketika menginjak masa
anak-anak. Seorang bayi yang oleh orangtuanya disuplai pembicaraan positif
ketika ia tidur, seperti bacaan Al-Qur’an, atau bahasa asing, setelah ia
terbangun bayi tersebut akan dengan mudahnya menyerap ilmu yang diajari dari
apa yang ia dengar. Meskipun ia diajari 10 bahasa, ia pun akan mudah
menangkapnya.
Cinta yang
dibekali Tuhan terhadap hambanya adalah sebuah rasa peduli, kasih sayang, dan
kemanusiaan, serta ketahauhidan. Rasa peduli bersumber dari kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama, serta sesama manusia. Peduli
membuat manusia akan berpikir untuk membangun kemajuan dan mencapai targetnya. Peduli
juga membuat orang seoptimal mungkin memanfaatkan waktunya di dunia, ia
melakukan hal-hal positif dan menghindari pekerjaan yang sia-sia. Peduli pada
sesama akan berimbas pada perkembangan kepribadian yang positif dan peka
lingkungan. Selain rasa peduli ini, cinta akan menumbuhkan rasa kemaunusiaan
dan solidaritas sosial. Kemanusiaan terbangun karena seseorang yang peduli
terhadap sesamanya, dengan berpikir rasional dan berpegang pada hukum.
Kerusakan nilai kemanusiaan di zaman sekarang ini merupakan hasil dari
ketidakpedulian terhadap sesama. Orang kaya yang tidak peduli untuk menyisihkan
sebagian hartanya kepada orang fakir atau miskin berakibat orang yang terdesak
kebutuhan hidup akan berbuat kriminal dan mungkin hilang akal sehingga
perbuatan irrasional pun dapat dilakukannya, seperti membunuh anak kandung,
meminta bantuan makhluk sakral, ataupun bunuh diri. Rasa kemanusiaan yang peka
akan menimbulkan kasih sayang dan ikatan solidaritas yang tinggi. Rasa aman,
damai, dan tentram pun akan tercipta dan pola hidup serta pola pikir masyarakat
pun akan lebih baik. Cinta yang tertinggi ialah bentuk cinta terhadap Allah
SWT. Sebagaimana mencintai seorang hamba, apabila mendengar nama orang yang
kita cintai, kita tentunya akan tertarik perhatian. Begitupun ketika mendengar
nama Allah disebut. Orang yang benar-benar mencintai Allah, apabila nama-Nya
disebut, bergetarlah hatinya. Tingkatan cinta yang seperti ini sangat sulit dicapai
dan perlu usaha yang luar biasa untuk meraihnya.
Hamparan ras
manusia yang sekian banyaknya merupakan lahan kita untuk menanam benih-benih
cinta. Benih yang baik tentunya menghasilkan tanaman yang baik pula.
Sepertihalnya menanam padi, kita perlu benih yang baik, tanah yang subur, serta
perawatan yang intensif. Untuk mendapatkan benih yang baik, kita memerlukan
ketrampilan dan kepribadian yang ideal atau mudah diterima masyarakat.
Ketrampilan dan kreativitas akan menyuburkan kehidupan pemiliknya. Tanamlah
ketrampilan dan kreativitas kita dengan cara membaginya dengan penuh cinta
kepada orang lain, atau buatlah ladang usaha yang akan mensejahterakan orang
lain. Berusahalah hidup dengan bergelimangan kemakmuran batin maupun raga,
serta dengan niat berbagi kemakmuran dengan orang lain. Orang yang benar-benar
sukses ialah orang yang berhasil mensejahterahkan diri dan keluarga serta mampu
mensukseskan orang banyak. Sehingga akan berkurang penderitaan orang miskin di
bumi ini.
Kedua, tanah yang
subur. Tanah yang subur berarti masyarakat yang dinamis dan mau memikirkan
kemajuan bangsanya. Masyarakat yang sangat memerlukan perubahan adalah
masyarakat pedesaan dengan taraf hidup rendah atau ekonomi ke bawah. Tingkat
pendidikan yang rendah, serta ekonomi yang rendah pula membuat sulitnya
menciptakan paradigma baru dalam masyarakatnya. Belum lagi sikap mereka yang
hanya memperdulikan kesejahteraan diri dan keluarga, dan tak memikirkan
bagaimana berpartisipasi membangun negeri.
Dalam kondisi
masyarakat yang seperti ini, paradigma baru perlu diciptakan. Langkah awal
untuk menyuburkan tanah adalah menyiraminya, yaitu dengan cara memberi kuliah
motivasi kepada mereka. Buatlah suatu lapangan kerja di lingkungan mereka dan
buatlah harapan hidup mereka lebih baik. Kemudian pupuk mereka dengan ilmu-ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang mereka kerjakan. Selain itu
perkuatlah tali silaturahmi dengan mereka, ajaklah mereka untuk mau bergabung
dalam majelis masjid untuk memperoleh siraman rohani. Selanjutnya ialah memunculkan
orang-orang intelek atau para ulama yang mampu bertanggungjawab dalam
mempertahankan silaturahmi antarsesama dengan mempertahankan anggota majelis
sebagai sarana menimba ilmu dan memperoleh siraman rohani, serta mampu
membudayakan bekerja keras dan disiplin mencari ilmu.
--Kemajuan
seseorang dinilai dari produk yang dihasilkannya—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar